HUBUNGAN POLA PERAWATAN PADA ANAK UBERKULOSIS
PARU PRIMER DENGAN LAMA PENYEMBUHAN PADA ANAK
USIA 1-6 TAHUN DI DESA CIBUNTU CIBITUNG BEKASI 2007
Oleh : Yomah Yuliana
INTISARI
OLEH:
NAMA :Fitri
nur azizah
NIM:01314024
PRODI: S1
Keperawatan
SETIKES INSAN
CENDEKIA HUSADA
BOJONEGORO
HUBUNGAN POLA PERAWATAN PADA ANAK UBERKULOSIS
PARU PRIMER DENGAN LAMA PENYEMBUHAN PADA ANAK
USIA 1-6 TAHUN DI DESA CIBUNTU CIBITUNG BEKASI 2007
Oleh : Yomah Yuliana
INTISARI
Background: Pola perawatan orang
tua terhadap anak TB Paru primer dapat mendukung masa penyembuhan pasien, yang
meliputi: lingkungan perumahan,pemantauan pengobatan, pemenuhan kebutuhan
nutrisi, pemenuhan istirahat, perawatan masalah khusus pada gangguan pernafasan
dan pemenuhan rasa nyaman (Ngatsiyah, 2003). Menurut Bahar 2001,
pengobatan pasien TB dalam jangka waktu yang panjang dan telah
melebihi masa penyembuhan yang semestinya (6-9 bulan) akan memerlukan biaya yang
lebih banyak, dengan ditemukannya rifampisin terjadi semacam”minirevolusi”
dalam kemo terapi terhadap tuberculosis, karena jangka waktu pengobatan dapat
dipersingkat menjadi 6-9 bulan. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara pola perawatan
pada anak TB Paru primer dengan lama penyembuhan pada anak usia 1-6 tahun di desa
Cibuntu, Cibitung, Bekasi.
Methods: Penelitian ini
merupakan penelitian non eksperimen yang bersifat deskriptif. Dengan
menggunakan pendekatan retrospektif. Penelitian ini dilakukan di desa
Cibuntu, Cibitung, Bekasi. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik
sampel jenuh dengan jumlah responden sebanyak 30 orang yang terdiri dari
ibu-ibu yang anaknya menderita TB Paru primerdan berusia 1-6 tahun. Pengambilan
data dilakukan antara bulan
Agustus sampai September 2007 dengan menggunakan kuesioner dan
data dari identitas penderita. Analisa data dengan menggunakan koefsien
biserial.
Result: Hasil hipotesis diperoleh
koefisien korelasi sebesar r= 0,898 dengan taraf signifikan 0,05 hal ini
menunjukkan hubungan antara pola perawatan pada anak TB Paru primer dengan lama
penyemuhan usia 1-6 tahun. Kesimpulan: Semakin baik pola perawatan ibu pada
anak TB Paru primer maka semakin cepat proses penyembuhannya.
Kata kunci: Pola perawatan, lama
penyembuhan, anak usia 1-6 tahun.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional
dan keduanya saling terkait. Tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang optimal
tanpa membedakan status sosial. Upaya
tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah Republik Indonesia
yang di kenal dengan “Indonesia Sehat 2010”, yang pada intinya menekankan peran
serta aktif masyarakat untuk memelihara kesehatan secara mandiri (Dep Kes RI,
2000).
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang telah lama dikenal. Penyakit
ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat terutama di
negara yang sedang berkembang. Tuberculosis merupakan penyebab utama kematian
diantara berbagai infeksi yang dilaporkan. Penyakit ini sangat menular dan
menyerang semua umur. Indonesia diantara tiga juta penduduk yang suspek
tuberkulosis, 220.000 dengan sputum BTA positif atau 2,4 per seribu penduduk.
Menurut Amin (1999), tuberkulosis merupakan penyakit nomer satu dan merupakan penyebab
kematian nomer tiga. Sebagaimana disebutkan Depkes RI (2001) sejak tahun 1995
program pemberantasan penyakit TB paru telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse), dimana strategi ini dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi dan paling costeffective.
Adapun secara jelasnya strategi penanggulangan TB nasional antara lain: Paradigma
sehat dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini
mungkin serta meningkatkan cakupan program.Promosi kesehatan dalam rangka
prilaku hidup sehat yang meningkat serta
upaya perbaikan perumahan dan peningkatan status gizi (Dep Kes RI,
2001). Strategi DOTS ditekankan pada pengobatan dengan panduan OAT jangka
pendek dan PMO (Pengawas Minum Obat) secara langsung. Peningkatan mutu
pelayanan terutama pada ketersediaan OAT untuk semua penderita TB, ketepatan
diagnosa TB, kualitas laboratorium dan pembentukan kelompok puskesmas pelaksana
(KPP). Pengembangan program dilakukan secara bertahap keseluruh unit pelayanan
kesehatan. Peningkatan kerjasama dengan semuah pihak. Kabupaten/kota sebagai
titik berat manajemen program. Kegiatan penelitian dan pengembangan. Memperhatikan
komitmen internasional (Dep Kes RI, 2001). Visi dari program nasional
penanggulangan TB paru adalah TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Untuk mendukung visi tersebut ditetapkan tujuan berupa jangka
panjang dan jangka pendek (Dep Kes RI,2001). Tujuan jangka panjang yaitu
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian dengan cara memutuskan rantai
penularan. Sementara tujuan jangka pendeknya adalah tercapainya angka
kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru yang ditemukan serta
tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga pada tahun 2005
dapat mencapai 70% (Dep Kes RI, 2001). Untuk mencapai tujuan tersebut
ditetapkan target program adalah angka konversi pada akhir pengobatan tahap
intensif minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru. Selain itu
penyediaan OAT
diberikan secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaanya (Dep kes RI,
2001). Lebih dari 100 tahun tuberkulosis masih merupakan sebuah masalah kesehatan
masyarakat di berbagai penjuru dunia, tetapi kini tuberculosis dianggap sebagai
suatu penyakit yang sudah dapat dicegah dan diobati namun tetap memerlukan
perhatian masyarakat (Smeltzer, 2001). Meskipun obat – obatan dan vaksin untuk
penyakit tuberculosis sudah lama ditemukan, namun penyakit yang dikenal sejak
ratusan tahun ini belum dapat dimusnahkan. Angka kejadian infeksi masih tetap
tinggi bahkan cenderung meningkat pesat sejalan dengan pesatnya laju
pertumbuhan penduduk. Sesudah beberapa puluh tahun penurunan insidensi
tuberculosis, angka kasus tuberculosis telah bertambah secara dramatis selama
decade terakhir ini. Hampir 1,3 juta kasus dan 450.000 kematian terjadi pada
anak setiap tahun. Insiden tuberculosis masa anak bertambah 40% di Amerika
Serikat dari tahun 1987 sampi tahun 1993 sebagai akibat kemiskinan, imigrasi
dari negara yang berprevalensi tinggi, epidemi infeksi virus imunodefisiensi manusia
(HIV), dan keterbatasan pada pelayanan perawatan (Richard. Et al,2000). Tuberkulosis
primer disebut juga penyakit tuberkulosis pada bayi dan anak serta merupakan
penyakit sistemik, juga penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosa tipe humanus ( jarang oleh tipe Mycobacterium
bovines ). Mycobacterium tuberculosa masuk melalui saluran nafas (droplet
infection) sampai alveoli terjadilah infeksi primer. Lesi di dalam paru
dapat terjadi dimanapun terutama di perifer dekat pleura. Lebih banyak terjadi
di bagian bawah paru dibandingkan dengan bagian atas. Pembesaran kelenjar
regional lebih banyak terdapat pada anak dan penyembuhan terutama kearah
kalsifikasi serta penyebaran hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak
kecil (Ngastiyah, 2003). Masalah klinis yang sering dihadapi adalah sulitnya
diagnosis karena gambaran rontgen paru dan gambaran klinis yang tidak terlalu
khas, sedangkan pe nemuan basil TB sulit. Anak biasanya tertular sumber
infeksiyang umumnya penderita TB dewasa. Anak yang tertular TB disebut mendapat
infeksi primer TB. Penyakit TB biasanya menimbulkan gejala,tetapi karena gejala
tersebut seringkali tidak jelas maka pasien atau orang tuanya tidak menyadari
atau memeperhatikannya.Penatalaksanaan tuberkulosis primer ini berhubungan
dengan penatalaksanaan secara medik dan keperawatan. Untuk penyembuhan pasien
tuberkulosis hanya dengan pengobatan yang spesifik dan adekuat serta ditunjang
dengan perawatan yang benar, sehingga seharusnya pasien tuberkulosis dapat sembuh
dalam waktu 1 tahun (Ngastiyah, 2003). Menurut Bahar (2001), dengan ditemukanya
Rifampisin terjadi semacam “Mini revolusi” dalam kemotherapi terhadap
tuberculosis, karena jangka waktu pengobatan dapat dipersingkat menjadi 6-9
bulan. Tuberculosis primer cenderung sembuh sendiri, akan tetapi sebagian besar
menyebar lebih lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi. Juga dapat meluas kedalam
jaringan paru sendiri. Basil tuberculosis dapat masuk langsung ke dalam aliran darah
atau melalui kelenjar getah bening. Didalam aliran darah basil dapat mati atau
dapat pula berkembang terus, hal ini tergantung pada keadaan pasien serta
virulensi kuman. Melalui aliran darah basil dapat mencapai alat tubuh lain
seperti selaput otak, tulang, hati, ginjal, dan lainnya. Dalam alat tubuh
tersebut basil tuberkulosis dapat segera menimbulkan penyakit (Ngastiyah.
2003). Pengobatan pasien tuberkulosis dalam jangka waktu yang panjang dan telah
melebihi masa penyembuhan yang semestinya (6 sampai 9 bulan) akan memerlukan
biaya yang lebih banyak (Bahar, 2001). Pola perawatan orang tua terhadap anak
tuberkulosis primer dapat mendukung masa penyembuhan pasien, yang meliputi :
lingkungan perumahaan, pemantauan pengobatan,
pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan istirahat, dan perawatan
masalah khusus pada gangguan pernafasan dan pemenuhan rasa nyaman. Dengan lama
waktu pengobatan yang lebih panjang dari yang seharusnya sering orang tua tidak
sabar dan merasa kasihan pada anaknya karena harus terus minum obat maka orang
tua tidak datang membawa berobat kembali anaknya sehingga obat akan berhenti
sebelum waktunya yang justru dapat
menimbulkan komplikasi yang sebagian besar terjadi dalam 2 bulan
setelah terjadinya penyakit dan merupakan fokus reaktivasi nantinya (Ngastiyah,
2003).
Menurut Kusmardhani (1995), tuberkulosis pada anak berhubungan erat
dengan gangguan nutrisi yang mengandung gizi yang akan mempengaruhi tumbuh
kembang anak. Komplikasi yang merupakan penyebaran patogen pada tuberkulosis
anak dapat terjadi di tulang, kelenjar
getah bening dan penyebaran dapat menyebabkan tuberkulosis milier
dan meningitis tuberkulosis yang mengenai selaput otak sehingga terjadi keadaan
morbiditas dan mortalitas yang besar terutama pada bayi dan anak kecil (Braunwald,
2000). Selain itu juga akan timbul resistensi kuman mycobacterium tuberculosa
terhadap beberapa obat anti tuberculosis (OAT)
sebagai akibat dari pengobatan yang tidak tuntas (Depkes RI,
2000). Setelah dilakukan wawancara terhadap ibu-ibu sebanyak 15 orang pada
tanggal 1-3 Juni 2007 maka data yang didapat 65% penderita TB primer dari
golongan umur 1-6 tahun, 5% dari golongan usia lebih dari 6 tahun, 10% dari
golongan remaja sampai dengan dewasa, 20% merupakan golongan
orang tua. Dari data tersebut didapatkan jumlah terbanyak
penderita adalah dari golongan usia 1-6 tahun sebanyak 65% penderita TB paru
primer. Dari 15 penderita telah melakukan kemotherapi dengan pengobatan jangka pendek
(6-9 bulan), dan didapatkan data dari 9 responden sembuh pada 10-12 bulan, 4
responden sembuh pada 6-9 bulan, 2 responden sembuh lebih dari 1 tahun. Adapun
pola perawatan yang dilakukan ibu dalam penanganan anak TB paru primer yaitu
ibu melakukan perawatan penderita sama dengan penderita panyakit lain, tetapi
ibu terkadang lupa mengawasi penderita untuk menelan obat secara teratur sesuai
anjuran. Selanjutnya pola pemenuhan nutrisi, ibu tidak memberikan menu yang
bergizi setiap hari kepada penderita. Pola istirahat, ibu tidak mengatur pola
istirahat yang baik serta efektif bagi penderita. Olah raga, ibu kurang
menganjurkan si penderita untuk berolah raga di tempat terbuka, olah raga hanya
di lakukan satu kali dalam seminggu. Pola perawatan lingkungan, ibu selalu
membersihkan lingkungan rumah dan kamar si penderita setiap hari, akan tetapi
jendela rumah & kamar tidak di buka setiap hari dikarenakan banyaknya
polusi (debu). Didalam program pencegahan TB paru primer di Desa Cibuntu Cibitung
Bekasi dilakukan dengan pemberian Imunisasi BCG pada bayi baru lahir, serta
pemberian penyuluhan kesehatan tentang TB paru. Namun masih banyak dijumpai
jangka waktu pengobatan menjadi panjang sehingga waktu penyembuhan menjadi
lebih lama.
Terkait dengan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai “hubungan pola perawatan pada anak tuberkulosis paru primer
dengan lama penyembuhan pada anak usia 1-6 tahun di Desa Cibuntu Cibitung
Bekasi ”. Sedangkan perumusan masalahnya adalah : “Apakah ada hubungan pola
perawatan pada anak TB primer dengan lama penyembuhan pada anak usia 1-6 tahun
di Desa Cibuntu Cibitung Bekasi”.
Tujuan
Penelitian
Tujuan Umum : Diketahui hubungan pola perawatan pada anak TB primer
dengan lama penyembuhan pada anak usia 1-6 tahun di Desa Cibuntu Cibitung
Bekasi tahun 2007. Sedangakn tujuan Khususnya adalah : Pertama, diketahuinya
pola perawatan pada anak TB primer di Desa Cibuntu Cibitung Bekasi. Kedua,
diketahuinya lama penyembuhan TB primer pada anak usia 1-6 tahun di Desa
Cibuntu Cibitung Bekasi.
METODE
PENELITIAN
Jenis
penelitian
Metode analisa penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskritif, dengan suatu pendekatan retrospektif, pada anak tpenderita TB paru
primer, tetapi aspek yang diteliti adalah pola perawatan dengan lama
penyembuhan.
Populasi
dan sampel penelitian
Populasi adalah keseluruhan kelompok, individu atau objek yang di minati
oleh peneliti (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
anak yang Menderita tuberkulosis paru yang minimal telah menjalankan pengobatan
6-9 bulan berdomisili di Desa Cibuntu Cibitung Bekasi. Yang berjumlah sebanyak
30 orang. Sampel adalah suatu bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah
dari karateristik yang dimiliki oleh populasi (Alimul A, 2003). Sampel dalam
penelitian ini menggunakan sampel jenuh yaitu semua ibu-ibu yang anaknya
menderita tuberkulosis paru primer yang berusia 1-6 tahun sebanyak
30 orang yang ditemukan dan telah menjalani pengobatan minimal 6-9
bulan di Desa Cibuntu Cibitung Bekasi.
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan selama tanggal 3 Agustus – 29 September 2007 yang
dilakukan di Desa Cibuntu, Cibitung Bekasi.
Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul
data sedangkan sumber data sekunder adalah sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalanya lewat orang lain atau lewat
dokumen. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data primer dan sekunder.
Data Primer diperoleh melalui penyebaran angket dengan menggunakan kuesioner,
sedangkan Data sekunder diperoleh dari kartu identitas yang ada pada pasien.
Instrumen penelitian
Untuk mendapatkan data yang relevan, maka dalam penelitian ini peneliti
menggunakan kuesioner dengan pertanyaan tertutup dimana setiap responden hanya
memilih jawaban yang telah disiapakan oleh peneliti. Pertama, instrument penelitian
yang digunakan untuk mengukur variable independent “pola perawatan ibu pada
anak TB primer” dengan menggunakan skala nominal dengan ketentuan rendah (0-6),
sedang (7-13), baik (14-20). Untuk mengetahui pola perawatan ibu pada anak TB
primer peneliti menggunakan bentuk pertanyaan tertutup dengan ketentuan jawaban
“ya” dan “ tidak” dan diberi skor 1 jika jawaban YA dan 0 jika jawaban TIDAK. kemudian
hasil pengukurannya digolongkan dalam katagori rendah, sedang, dan baik
(Arikunto, 2006). Kedua, untuk mengukur variabel dependent “lama perawatan anak
usia 1-6 tahun” dengan menggunakan skala interval dengan ketentuan sembuh cepat
6-9 bulan, sembuh sedang 10-12 bulan, sembuh lambat >12 bulan.
Pengolahan dan Analisa Data
Analisa data yang dilakukan setelah seluruh data terkumpul,
meliputi Pengolahan Data yang terdiri dari : Pertama, Editing. Tahap ini
dilakukan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh adalah lengkap. Kedua,
Coding. Tiap hasil dari pengamatan
dan wawancara diberi nomor kode pada lembar pedoman, untuk memudahkan pada
waktu memasukkan data (entry data). Ketiga, Scoring. Menghitung scor
atau nilai dari masing-masing variabel yaitu pola perawatan dan lama
penyembuhan. Keempat, Entry data. Memasukkan data computer, selanjutnya
data dihitung dengan menggunakan SPSS 11,5 for Windows dengan taraf
signifikasi p= 0,05 (Sugiyono, 2004). Analisa data mempunya langkah yang sangat
penting dalam penelitian teutama bila dalam penelitian tersebut bermaksud untuk
mengambil kesimpulan dari masalah yang diteliti. Untuk menganalisa data
diperlukan suatu cara atau metode analisis yaitu suatu metode untuk
menganalisis data yang diperoleh selama penelitian sehingga dapat digunakan
untuk menginterpretasikan hasil penelitian secara garis besar analisis data
meliputi 3 langkah yaitu : Persiapan, tabulasi, dan penerapan data sesuai
dengan pendekatan penelitian (Arikunto, 2006).
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
: Pertama, Analisa Univariat bertujuan untuk menghasilkan persentasi dari tiap
variabel, baik variabel bebas maupun variabel terikat (Notoatmojo, 2003) dan
menyajikan data distribusi frekuensi. Kedua, Analisa bivariat dilakukan untuk
mengetahui adanya hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat dengan menggunakan Rumus koefisien biserial yaitu
:
=
Keterangan
rumus :
μ1 =
rata-rata dari skor Y dari variabel yang sama misalnya (1)
μ0 =
rata-rata dari skor Y dari variabel yang sama misalnya (0)
σu =
standar deviasi dari selurh skor Y,
=
N
p :
proporsi dari responden yang bernilai sama (1)
q :
proporsi dari responden yang bernilai sama (0)
u :
adalah ordinat (tinggi) dalam kurva normal sebagai batas antara
proporsi
p dan q
(Riwidigdo,
Handoko, 2006)
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian
1. Hasil Penelitian
a.
Karesteristik Responden Penelitian
1) Distribusi Responden Berdasarkan
Pendidikan.
Berdasarkan tabel 3 yang ada
di atas dapat kita lihat bahwasannya karakteristi responden berdasarkan tingkat
pendidikan terbanyak adalah SLTA yaitu 11 responden (36,67%) orang, sedangkan
untuk tingkat pendidikan terbanyak kedua adalah SD yaitu 8 responden (26,67%),
kemudian responden yang tingkat pendidikannya SLTP ada 6 responden (20%),
sedangkan responden yang tingkat pendidikannya PT (Perguruan Tinggi) yaitu 5
responden (16,66%).
2) Distribusi Responden Berdasarkan
Pekerjaan Ibu Berdasarkan tabel 4 yang ada di atas dapat kita lihat bahwasannya
karakteristi responden berdasarkan Pekerjaan Ibu terbanyak adalah Ibu Rumah
Tangga (IRT) yaitu 15 responden (50%), sedangkan yang terendah adalah PNS yaitu
2 responden (6,67%).
3) Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Anak Berdasarkan tabel 5 yang ada di atas dapat kita lihat bahwasannya
karakteristi responden berdasarkan Usia Anak
terbanyak adalah anak usia
3-4 tahun yaitu 11 responden (36,67%), kemudian yang terendah yaitu usia 5-6
tahun sebanyak 9 responden (30%).
4) Distribusi Responden Berdasarkan Pola
Perawatan Sumber Data: Data Primer 2007 Berdasarkan tabel 6 yang ada di atas
dapat kita lihat bahwasannya karakteristi responden berdasarkan pola perawatan
terbanyak adalah 18 responden (60%), sedangkan untuk pola perawatan terbanyak
kedua yaitu 12 responden (40%).
5) Distribusi Responden Berdasarkan Lama
Penyembuhan Berdasarkan tabel 7 yang ada di atas dapat kita lihat bahwasannya
karakteristi responden berdasarkan lama
penyembuhan terbanyak adalah
anak sembuh sedang 10-12 bulan yaitu 13 responden (43,33%), kemudian yang
terendah yaitu responden sembuh lambat >12 bulan sebanyak 8 responden
(26,67%).
6) Tabulasi Silang Pola Perawatan dengan
Lama Penyembuhan Berdasarkan tabel 8 yang ada di atas dapat kita lihat dari 30
responden untuk pola perawatan mayoritas berpola perawatan baik sebanyak 18
responden (60 %) dengan kreteria baik. Dan lama penyembuhan mayoritas sembuh
sedang sebanyak 13 responden (43,33%).
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
di
Desa Cibuntu, Cibitung Bekasi Agustus – September
2007
No Pendidikan Frekuensi Presentase
NO
|
PENDIDIKAN
|
FREKUENSI
|
PRESENTASE
|
1
|
SD
|
8
|
26,67%
|
2
|
SLTP
|
6
|
20%
|
3
|
SLTA
|
11
|
36,67%
|
4
|
PT
|
5
|
16,66%
|
JUMLAH
|
30
|
100%
|
Sumber
Data: Data Primer 2007
Tabel
4
Distribusi
Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu di Desa
Cibuntu,
Cibitung Bekasi Agustus – September 2007
No
Pekerjaan Ibu Frekuensi Presentase
NO
|
PEKERJAAN IBU
|
FREKUENSI
|
PRESENTASE
|
1
|
IBU RUMAH TANGGA
|
15
|
50%
|
2
|
PETANI
|
7
|
23,33%
|
3
|
WIRASUWASTA
|
6
|
20%
|
4
|
PNS
|
2
|
6,67%
|
JUMLAH
|
30
|
100%
|
Tabel
5
Distribusi
Responden Berdasarkan Usia Anak di Desa
Cibuntu,
Cibitung Bekasi Agustus – September 2007
No
Usia Anak Frekuensi Presentase
NO
|
USIA
|
FREKUENSI
|
PRESENTASE
|
1
|
1-2
|
10
|
33,33%
|
2
|
3-4
|
11
|
36,67%
|
3
|
5-6
|
9
|
30%
|
JUMLAH
|
30
|
100%
|
Sumber
Data: Data Primer 2007
Tabel
6 Distribusi Responden Berdasarkan Pola Perawatan
di
Desa Cibuntu, Cibitung Bekasi Agustus – September 2007
No
Pola Perawatan Frekuensi Presentase
NO POLA PERAWATAN FREKUENSI PRESENTASE
1 0-6rendah 0 0% 2 7-13 12 40%
3 14-20 18 60%
jumlah 30 100%
Tabel
7 Distribusi Responden Berdasarkan Lama
Penyembuhan
di Desa Cibuntu, Cibitung Bekasi Agustus –
September
2007
Lama
Penyembuhan Frekuensi Presentase
Lama penyembuhan FREKUENSI PRESENTASE
Sembuh cepat 6-9 bln 9 30%
Sembuh
sedang 10-12bln 13 43,33% sembuh
lambat > 12bln 8 26,67%
Jumlah
30 100%
Sumber
Data: Data Primer 2007
Tabel
8 Tabulasi Silang Pola Perawatan dengan lama
Penyembuhan
di Desa Cibuntu, Cibitung Bekasi Agustus –
September
2007
pola rawat lama cepat sedang lambat jumlah%
F
% F % F % h
rendah 0 0% 0 0% 0 0% 0 0%
sedang 6 20% 6 20% 0 0% 12 40%
baik
3 10% 7 23,33% 8 26,67% 18
60%
jumlah 9 30% 13 43,33% 8 26,67 % 30 100%
Sumber
Data: Data Primer 2007
Pembahasaan
Pertama, Pola Perawatan. Pola perawatan terhadap anak TB Paru primer
dapat mendukung masa penyembuhan pasien, yang meliputi: lingkungan perumahan,
pemantauan pengobatan, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan istirahat,
perawatan masalah khusus pada gangguan pernafasan dan pemenuhan rasa nyaman
(Ngatsiyah, 2003). Hasil penelitian
menunjukkan dari 30 responden 18 ibu (60%) berpola perawatan baik,
dan 12 ibu (40%) berpola perawatan sedang. Pasien dengan TB tidak dirawat dirumah
sakit oleh karena jumlahnya cukup banyak dan dapat dirawat dirumah kecuali bila
terjadi komplikasi seperti TB milier, meningitis TB, pleuritis dan sebagainya
(Sacharin. R.M, 1999). Keluarga merupakan unit dasar dari masyarakat manusia
dan dalam unit ini lahirlah anak yang lebih muda yang sebagian besar dari
kebutuhan perkembangan harus dipenuhi oleh ayah dan ibu si anak. Jika salah
satu dari kebutuhan dasar tidak dipenuhi secara adekuat, perkembangan akan
terhambat atau terganggu. Disamping itu keluarga merupakan unit
utama dimana pencegahan dan pengobatan dilakukan serta diperlukannya keterlibatan
dan dukungan dalam keluarga, sehingga tanpa hal itu maka rehabilitasi akan
lebih sukar (Sacharin. R.M, 1999). Jadi mayoritas responden berpola perawatan
baik 18 ibu (60%), dilihat dari pemantauan/pengawasan pengobatan sebanyak 8
responden dengan kriteria baik, pemenuhan kebutuhan nutrisi sebanyak 7
responden dengan kriteria baik, dan 3 reponden dengan kriteria baik untuk
lingkungan perumahan, kebutuhan aktivitas dan istirahat. Pemantauan/ pengawasan
pengobatan sebanyak 8 responden dengan kriteria baik Penderita TB paru yang
berobat tidak teratur memiliki resiko untuk tidak sembuh sebesar 6,91 kali dibandingkan
dengan penderita yang berobat teratur. Untuk itu sangat diperlukan dukungan
keluarga untuk
memantau dan memotivasi penderita supaya tidak lalai dalam minum
obat dan mengambil obat bila obat akan habis. Pengawasan yang ketat dalam pengobatan
sangat penting untuk mencegah resistensi kuman TB terhadap obat dan kekambuhan
(Kusnarto, 1995).Pemenuhan kebutuhan nutrisi sebanyak 7 responden, Selain obat yang
diminum teratur, penderita TB perlu makanan yang bergizi.Sebagaimana yang
disebutkan oleh Aris (2000), bahwa 89,61% penderita TB dengan gizi jelek dan
hanya 10,39% dengan status gizi baik. Ditegaskan pula
bahwa status gizi berpengaruh terhadap penularan penyakit TB paru.
Setatus gizi yang buruk dapat mempengaruhi tanggapan tubuh berupa pembentukan
antibodi dan limfosit terhadap adanya kuman penyakit. Untuk pembentukan ini
diperlukan bahan baku protein dan karbohidrat, sehingga pada anak dengan gizi
jelek produksi antibody dan limfosit terhambat. Selain itu gizi yang buruk
dapat menyebabkan gangguan imunologis dan mempengaruhi proses penyembuhan
penyakit (Alsagaf & Mukty, 1999). Diet penderita TB harus cukup mengandung
protein. Makanan tidak cukup hanya nasi dan sayur saja tetapi perlu lauk-pauk
seperti ikan,daging, telur dan susu. Akibat dari kuman TB, paru-paru menjadi
keropos dan terjadi proses pengkapuran (kalsifikasi). Sehingga penderita perlu
asupan zat kapur lebih banyak. Zat kapur banyak terkandung pada susu, ikan teri
atau tablet kalsium. Jadi makanan bergizi dan zat kapur ibarat semen untuk menebalkan
bagian tubuh / paru yang berlubang dan keropos akibat digerogoti kuman TB (Nadesul,
2000). Untuk lingkungan perumahan, kebutuhan aktivitas dan istirahat yang sebesar
3 reponden. Dikarenakan banyaknya responden yang tinggal dilingkungan/areal industri
dan jarangnya ibu-ibu yang mengajak anaknya untuk berolah raga ditempat yang
berudara segar secara rutin. Lingkungan rumah yang berpengaruh mendukung
kesembuhan serta mencegah penularan antara lain sanitasi perumahan, kepadatan
hunian, ventilasi serta pencahayaan. Pemukiman yang sehat dirumuskan sebagai
tempat tinggal secara permanent, berfungsi sebagai tempat bermukim,
beristirahat, bersantai dan berlidung dari pengaruh lingkungan, yang memenuhi persyaratan
fisiologis, psikologis, bebas dari penularan penyakit dan kecacatan. Upaya
dalam mendukung perawatan penderita TB paru seperti lantai rumah dibuat dari
tegel atau semen dan tidak lembab. Apabila lantai masih tanah, diusahakan
permukannya dibuat rata, dan jika akan menyapu lantai hendaknya disiram dulu
sehingga akan mengurangi debu berterbangan (Depkes RI, 1997). Ventilasi dan
pencahayaan berpengaruh pada kesegaran dan kelembaban lingkungan rumah, dimana
hal tersebut dapatmmempengaruhi kondisi penderita (Notoatmodjo, 2003) Aktivitas
seperti olah raga sangat dibutuhkan oleh tubuh termasuk penderita TB primer
untuk mendapatkan kesegaran fisik dan meningkatakan daya tahan tubuh. Usahakan
olah raga ditempat terbuka yang berudara segar sehingga paru-paru bisa lebih
penuh mengembang. Udara segar banyak mengandung zat asam yang menyehatkan
paru-paru, membuat aliran darah lancer (Nadesul, 2000). Tubuh juga memerlukan
istirahat untuk menghindari kelelahan dan kelemahan. Istirahat bisa dengan
tidur siang atau kegiatan santai yang menghibur dan tidak memrlukan benyak
tenaga. Kebutuhan istirahat tidur anak harus diperhatikan, malam 10-12 jam dan
siang 1-2 jam, dan anak tidak boleh tidur terlalu malam (Lewer Helen, 1996).
Perlu diketahui pula agar anak menghindari udara dingin, udara malam, terhembus
angin kencang, aktivitas yang berkutat dengan debu, menghirup gas / minyak
wangi yang kesemuanya dapat menimbulkan batuk. Setiap batuk akan membuat luka diparu-paru
menjadi terkoyak / menganga. Untuk itu perlu disediakan obat batuk dirumah
apabila terjadi batuk darah atau bahkan muntah darah, segera bawa anak kerumah
sakit karena kondisi tersebut berbahaya dan memerlukan pengobatan dan perawatan
dirumah sakit secara intensif (Alsagaf & Mukty, 1999). Sedangkan 12 ibu
(40%) berpola perawatan sedang, dilihat dari masalah pernafasan 6 responden
berpola pernafasan sedang dan pemenuhan rasa nyaman sebanyak 6 responden
berpola perawatan sedang. Masalah pernafasan terdapat 6 responden sesuai dengan
Penderita TB paru primer dapat beragam keadaanya, dari yang tanpa gejala hingga
dengan gejala berat dan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang umum adalah
batuk dan produksi sputum yang banyak. Selain itu adanya destruksi dan proses
peradangan pada parenkhim paru dapat menimbulkan gangguan fungsi pernafasan.
Batuk kadang tidak menyesakkan penderita tetapi dengan batuk dapat melelahkan
dan berakibat pada kecepatan pernafasan serta memerlukan peningkatan usaha
pernafasan. Hambatan mukus / sputum membuat jalan nafas tidak efektif, hal ini
dapat menyebabkan atelektasis dan
gangguan pertukaran gas antara alveolar dan membrane kapiler. Dari
kerusakan parenkhim dan kavitas membuat perubahan transport gas dengan berkurangnya
daerah untuk difusi (Bahar, 2001). Adanya masalah tersebut yaitu pola nafas
tidak efektif karena batuk, jalan nafas tidak efektif karena peningkatan secret
dan gangguan pertukarangas, perlu dilakukan tindakan / perawatan pada
penderita. Upaya yang dapat dilakukan keluarga antara lain (Tucker, Et al 1995:
Cit Fadul, 2000) : Memantau tanda-tanda vital penderita dan gejala hipoksia
seperti : denyut jantung yang cepat, nadi yang keras, nafas cepat dan sesak,
irama jantung tidak teratur, pusing kelelahan dan bingung. Batasi aktivitas
fisik, anjurkan pendrita untuk istirahat. Atur posisi penderita sehingga dapat
bernafas optimal, posisi semi fowler (setengah duduk) atau high
fowler (duduk). Membantu penderita batuk secara efektif untuk mengeluarkan
dahak, bagian kepala ditinggalkan dan posisi pendrita miring untuk memudahkan keluararnya
dahak. Berikan banyak minum untuk memberikan kebutuhan cairan dan mengencerkan
dahak. Akan lebih baik lagi bila diberikan jus buahbuahan. Atur waktu istirahat
dan aktivitas penderita untuk menghindari kelelahan. Beri penderita obat batuk
yang dianjurkan untuk mengurangi batuk dan memudahkan pengeluaran dahak. Rice
(1996: Cit Aris, 2000), menambahkan untuk kualitas udara rumah bagi
pederita agar menghindari kondisi yang dapat mengiritasi pernafasan seperti
tidak merokok, bebas bulu binatang, debu, serbuk sari, spray, perubahan
mencolok temperature ruangan. Anjurkan pendrita untuk tinggal dirumah bila
udara luar berdebu dan polusi yang buruk. Gunakan sleyer atau masker agar
melindungi muka bila cuaca dingin untuk mencegah bronkhospasme. Dengan
usaha tersebut diharapkan batuk dan sesak nafas berkurang, kecepatan, kedalam
dan suara nafas normal. Pemenuhan rasa nyaman terdapat 6 responden hal ini
sesuai dengan
teori Sebagaimana diketahui bahwa gejala TB antara lain demam,
menggigil, keringat malam, batuk-batuk, badan lemah bahkan nyeri dada. Kesemua
hal tersebut membuat pendrita tidak nyaman. Tidak enak / tidak rileks, dan sangat
mengganggu tidur, akibatnya pendrita tidak bisa istirahat dengan cukup. Tindakan
yang dapat dilakukan oleh keluarga antara lain (Calne & Bufalino,(1987 Cit
Fadul, 2000): Pantau suhu tubuh penderita paling tidak tiap 4 jam, berikan
obat turun panas bila perlu atau kompres untuk menurunkan suhu tubuh. Anjurkan penderita
untuk mandi sebelum tidur dan atau pada pagi hari supaya badan terasa segar,
tidak terjadi pusing pagi hari. Ganti alat-alat tenun yang basah / lembab pada
tempat tidur pendrita, untuk memberikan rasanyaman saat tidur dan mencegah
iritasi kulit. Sediakan pakaian yang kering dan bersih untuk penderita. Atur
kegiatan dan aktivitas penderita sehingga tidak mengganggu waktu tidur. Jaga
ketenangan saat penderita sedang tidur. Rencanakan atau atur waktu istirahat
penderita tiap hari. Peranan orang tua menekankan sifat mengalir dari hubungan
anak orang tua dan pentingnya memahami pengaruh-pengaruh resiprokal dan interaktif
antara orang tua, bayi dan lingkungan dalam pengembangan peranan orang tua yang
berkembang sejalan dengan perkembangan anak (Burns Et al, 1996: Cit
Fadul, 2000).
Perawatan penderita TB paru primer diutamakan kepada keluarga (orang
tua) dan lingkungan sekitar. Untuk itu diharapkan keluarga mampu merawat
anggota keluarganya (Depkes RI, 2000) yaitu dengan : Mengawasi anggota keluarga
yang sakit untuk menelan obat secara teratur sesuai anjuran. Mengetahui adanya
gejala samping obat dan secara teratur sesuai anjuran. Memberikan makanan
bergizi. Memberikan waktu istirahat kepada anggota keluarga yang sakit minimal
8 jam perhari. Olah raga secara teratur di tempat yang berudara segar.
Memodifikasi lingkungan yang dapat mendukung kesembuhan penderita TB paru primer,
antara lain mengupayakan rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan misalnya mempunyai
jendela atau ventilasi yang cukup, bebas debu rumah dan lantai tidak lembab.
Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang pertama tingkat
pendidikan responden yang terbanyak SLTA sebanyak 11 reponden (36,67%),
kemudian SD sebanyak 8 responden (26,67%), selanjutnya SLTP sebanyak 6
responden (20%), dan yang terakhir Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 5 responden
(16,66%). Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, karena pendidikan
sangat mempengaruhi pola piker seseorang tenteng sesuatu hal yang nantinya akan
berpengaruh dalam pengambilan keputusan tertentu. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka akan semakin besar juga pengetahuan yang dimiliki, dan
tingginya tingkat pendidikan seseorang akan berdampak pada kemudahan seseorang
dalam
meningkatkan kesejahteraan hidup (Notoatmodjo, 2003). Faktor yang
yang selanjutnya yaitu Pekerjaan Ibu dari hasil penelitian didapatkan pekerjaan
ibu yang mendominasi yaitu Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 15 responden (50%),
kemudian terbanyak kedua Petani dengan jumlah 7 responden (23,33%), selanjutnya
Wirasuwasta sebanyak 6 responden (20%),dan yang terakhir PNS sebanyak 2
responden (%6,67). Pada umumnya pemenuhan kebutuhan primer sehari-hari sama
pentingnya dengan pemeliharan kesehatan pada anak penderita TB primer melalui
pola perawatan yang benar dan teratur guna penyembuhan penyakit tepat pada waktunya.
Pendidikan juga mempengaruhi kegagalan pengobatan, makin
rendahnya pendidikan penderita menyebabkan kurangnya pengertian penderita
terhadap penyakit dan bahayanya (Zoebir, 1981, Cit Aris, 2000). Dan
faktor yang terakhir yaitu usia anak dari hasil penelitian didapatkan hasil
terbanyak yaitu anak dengan usia 3-4 tahun sebanyak 11 anak (36,67%), kemudian
terbanyak keduan yaitu usia 1-2 tahun sebanyak 10
anak (33,33%), dan yang terakhir 5-6 tahun sebanyak 9 anak (30%). Tuberculosis
primer merupakan peradangan yang terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan
spesifik terhadap basil Mycobacterium
tuberculosa(Amin, 1999). Umur penderita dapat mempengaruhi kerja dan efek obat karena
metabolisme obat dan fungsi ginjal kurang efisien pada bayi dan pada orang tua.
Sehingga akan menimbulkan efek lebih kuat dan lebih panjang pada kelompok ini.
Fungsi ginjal akan menurun sejak usia 20 tahun, pada usia 50 tahun menurun 25%
dan pada usia 75 tahun turun 50% (Tanzil, 1992;Cit Fadul, 2000).
Kedua, Lama Penyembuhan. Dari 30 responden didapatkan hasil sebanyak
13 anak (43,33%) sembuh sedang 10-12 bulan, kemudian 9 anak (30%) sembuh cepat
6-9 bulan, dan yang terakhir 8 anak (26,67%) sembuh lambat >12 bulan.
Menurut Ngastiyah (2003), dalam penyembuhan penyakit TB dapat dicapai dengan
pengobatan spesifik yang adekuat dan didukung perawatan yang benar yaitu
meliputi kepatuhan minum obat, kepatuhan datang berobat, kebutuhan makanan yang
cukup mengandung gizi, kebutuhan istirahat tidur, kebersihan lingkungan dan
ventilasi udara sekitar tempat tinggal. Sehingga pasien dengan TB primer
seharusnya dapat sembuh dalam waktu 1 tahun. Menurut Bahar (2001), dengan ditemukannya
rifampisin terjadi semacam “mini revolusi” dalam kemoterapi terhadap TB, karena
jangka waktu pengobatan dipersingkat menjadi 6-9 bulan. Telah ditegakkan dengan
baik bahwa regimen INH dan Rifampisin menyembuhkan lebih dari 98% kasus TB sesudah
pemberian pengobatan setiap hari selama 1-2 bulan pertama, kedua obat dapat diberikan
setiap hari atau 2 kali seminggu selama sisa 7-8 bulan dengan hasil yang sama
dan frekuensi reaksi yang merugikan rendah. Penambahan PZA pada permulaan
regimen mengurangi lamanya keperluan pengobatan menjadi 6 bulan dimana anak
dengan pengobatan harus
mendapatkan perawatan pendukung secara teliti dengan mendorong ketaatan
pada terapi, memantau reaksi toksik pada pengobatan, nutrisi yang cukup adalah
penting dan penderita harus diperiksa setiap bulan dan harus diberikan
pengobatan yang cukup berakhir sampai kunjungan berikutnya. Jadi mayoritas
responden yaitu sembuh sedang 10-12 bulan sebanyak 13 anak (43,33%). Hal ini
dipengaruhi oleh masalah pernafasan sebanyak 6 responden dengan kategori
sedang, dan pemenuhan kebutuhan nutrisi dengan kategori baik sebanyak 7
responden. Masalah pernafasan terdapat 6 responden sesuai dengan Penderita TB
paru primer dapat beragam keadaanya, dari yang tanpa gejala hingga dengan
gejala berat dan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang umum adalah batuk dan
produksi sputum yang banyak. Selain itu adanya destruksi dan proses peradangan
pada parenkhim paru dapat menimbulkan gangguan fungsi pernafasan. Batuk kadang
tidak menyesakkan penderita tetapi dengan
batuk dapat melelahkan dan berakibat pada kecepatan pernafasan
serta memerlukan peningkatan usaha pernafasan. Hambatan mukus / sputum membuat
jalan nafas tidak efektif, hal ini dapat menyebabkan atelektasis dan gangguan
pertukaran gas antara alveolar dan membrane kapiler. Dari kerusakan parenkhim
dan kavitas membuat perubahan transport gas denganberkurangnya daerah untuk
difusi (Bahar, 2001). Rice (1996, Cit Aris, 2000), menambahkan untuk
kualitas udara rumah bagi pederita agar menghindari kondisi yang dapat
mengiritasi pernafasan seperti tidak merokok, bebas bulu binatang, debu, serbuk
sari, spray, perubahan mencolok temperature ruangan. Anjurkan pendrita untuk
tinggal dirumah bila udara luar berdebu dan polusi yang buruk. Gunakan sleyer
atau masker agar melindungi muka bila cuaca dingin untuk mencegah bronkhospasme.
Dengan usaha tersebut diharapkan batuk dan sesak nafas berkurang,
kecepatan, kedalam dan suara nafas normal. Pemenuhan kebutuhan nutrisi sebanyak
7 responden, Selain obat yang diminum teratur, penderita TB perlu makanan yang
bergizi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Aris (2000), bahwa 89,61% penderita
TB dengan gizi jelek dan hanya 10,39% dengan status gizi baik. Ditegaskan pula
bahwa status gizi berpengaruh terhadap penularan penyakit TB paru.
Dan yang terbanyak kedua yaitu responden dengan kategori sembuh cepat 6-9 bulan
sebanyak 9 anak (30%). Hal ini dipengaruhi oleh Pemenuhan rasa nyaman sebanyak
6 reponden dengan kategori sedang, Keadaan lingkungan rumah,Kebutuhan aktivitas
istirahat sebanyak 3 responden
dengan kategori baik. Pemenuhan rasa nyaman terdapat 6 responden
Tindakan yang dapat
dilakukan oleh keluarga antara lain (Calne & Bufalino, (1987, Cit
Fadul, 2000): Pantau suhu tubuh penderita paling tidak tiap 4 jam, berikan
obat turun panas bila perlu atau kompres untuk menurunkan suhu tubuh. Anjurkan
penderita untuk mandi sebelum tidur dan atau pada pagi hari supaya badan terasa
segar, tidak terjadi pusing pagi hari. Ganti alat-alat tenun yang basah /lembab
pada tempat tidur pendrita, untuk memberikan rasanyaman saat tidur dan mencegah
iritasi kulit. Sediakan pakaian yang kering dan bersih untuk penderita. Atur
kegiatan dan aktivitas penderita sehingga tidak mengganggu waktu tidur. Jaga
ketenangan saat penderita sedang tidur. Rencanakan atur waktu istirahat
penderita tiap hari. Untuk lingkungan perumahan, kebutuhan aktivitas dan
istirahat yang sebesar 3 reponden. Dikarenakan banyaknya responden yang tinggal
dilingkungan/areal industri dan jarangnya ibu-ibu yang mengajak anaknya untuk
berolah raga ditempat yang berudara segar secara rutin. Lingkungan rumah yang
berpengaruh mendukung kesembuhan serta mencegah penularan antara lain sanitasi
perumahan, kepadatan hunian, ventilasi serta pencahayaan. Pemukiman yang sehat
dirumuskan sebagai tempat tinggal secara permanent, berfungsi sebagai
tempat bermukim, beristirahat, bersantai dan berlidung dari pengaruh
lingkungan, yang memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, bebas dari
penularan penyakit dan kecacatan. Upaya dalam mendukung perawatan penderita TB
paru seperti lantai rumah dibuat dari tegel atau semen dan tidak lembab.
Apabila lantai masih tanah, diusahakan permukannya dibuat rata, dan jika akan
menyapu lantai hendaknya disiram dulu sehingga akan mengurangi debu
berterbangan (Depkes RI, 1997). Ventilasi dan pencahayaan berpengaruh pada
kesegaran dan kelembaban lingkungan rumah, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi
kondisi penderita (Notoatmodjo, 2003) Aktivitas seperti olah raga sangat
dibutuhkan oleh tubuh termasuk penderita TB primer untuk mendapatkan kesegaran
fisik dan meningkatakan daya tahan tubuh. Usahakan olah raga ditempat terbuka
yang berudara segar sehingga paru-paru bisa lebih penuh mengembang. Udara segar
banyak mengandung zat asam yang menyehatkan paru-paru, membuat aliran darah lancer
(Nadesul, 2000). Tubuh juga memerlukan istirahat untuk menghindari kelelahan
dan kelemahan. Istirahat bisa dengan tidur siang atau kegiatan santai yang menghibur
dan tidak memrlukan benyak tenaga. Kebutuhan istirahat tidur anak harus
diperhatikan, malam 10-12 jam dan siang 1-2 jam, dan anak tidak boleh tidur
terlalu malam (Lewer Helen, 2002). Perlu diketahui pula agar anak menghindari
udara dingin, udara malam, terhembus angin kencang, aktivitas yang berkutat
dengan debu, menghirup gas / minyak wangi yang kesemuanya dapat menimbulkan
batuk. Setiap batuk akan membuat luka diparu-paru menjadi terkoyak/ menganga.
Untuk itu perlu disediakan obat batuk dirumah apabila terjadi batuk darah atau
bahkan muntah darah, segera bawa anak kerumah sakit karena kondisi tersebut
berbahaya dan memerlukan pengobatan dan perawatan dirumah sakit secara intensif
(Alsagaf & Mukty, 1999). Dan yang terakhir sembuh lambat >12 bulan
sebanyak 8 responden (26,67%), dipengaruhi oleh pengawasan/ pemanatauan
pengobatan sebesr 8 responden. Terkadang ibu lupa untuk meminumkan obat kepada
anaknya, ibu yang bekerja tidak dapat langsung mengawasi anaknya minum obat
secara rutin. lingkungan rumah dan kebutuhan aktivitas, istirahat yang hanya 3 responden
dikarenakan lingkungan rumah penderita berada di areal Industri. Serta
kurangnya ibu mengajak anaknya untuk berolah raga di tempat yang berudara segar
setiap harinya. Kurangnya pengetahuan tentang TB paru primer, dengan pendidikan
ibu sebanyak 8 responden (26,67%) berpendidikan SD.
Ketiga, Hubungan Pola Perawatan Dengan Lama Penyembuhan TB Paru
Primer. Dengan perhitungan rumus dari koefisien biserial diperoleh bahwa
ada hubungan antara pola perawatan dengan lama penyembuhan anak dengan TB paru
primer usia 1-6 tahun dan didapatkan koefisien korelasi sebesar r = 0,898
dengan taraf signifikan 0,05. semakin baik pola perawatan ibu maka semakin
cepat pula lama penyembuhan TB paru primer usia 1-6
tahun. (10%) sembuh cepat 7 anak (23,33%) sembuh sedang, 8 anak
(26,67%) sembuh lambat. 12 responden (40%) yang berpola perawatan sedang, 6 responden
(20%) sembuh cepat 6-9 bulan, 6 anak (20%) sembuh sedang. Dengan 13 responden
(43,33%) sembuh sedang 10-12 bulan, maka pola perawatan ibu sebanyak 6
responden dengan masalah pernafasan kategori sedang, dan 7 responden berpola
perawatan baik untuk kebutuhan
nutrisi. Kemudian sembuh cepat 6-9 bulan sebanyak 9 responden
(30%), dengan berpola perawatan sedang sebanyak 6 responden untuk pemenuhan rasa
nyaman, dan 3 responden berpola perawatan baik untuk lingkungan rumah dan
kebutuhan aktivitas,istirahat. Dan yang terakhir untuk sembuh lambat >12
bulan, sebanyak 8 responden (26,67%) dengan pola perawatan baik untuk
pemantawan/pengawasan pengobatan. Akan tetapi hal ini kemungkinan dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan rumah dan kebutuhan aktivitas, istirahat yang hanya 3
responden dikarenakan lingkungan rumah penderita berada di areal Industri.
Serta kurangnya ibu mengajak anaknya untuk berolah raga di tempat yang berudara
segar setiap harinya. Kurangnya pengetahuan tentang TB paru primer, dengan
pendidikan ibu sebanyak 8 responden (26,67%) berpendidikan SD. Dalam penelitian
ini dapat diketahui bahwa adanya hubungan antara pola perawatan pada anak TB
paru primer dengan lama penyembuhan anak
usia 1-6 tahun di Desa Cibuntu, Cibitung Bekasi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya,
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, sebagian besar pola
perawatan menunjukkan 18 responden (60%) berpola perawatan baik, 12 responden
(40%) berpola perawatan sedang. Kedua, sebagian besar responden sebanyak 13
anak (43,33%) sembuh sedang 10-12 bulan. Ketiga, Ada hubungan antara pola
perawatan dengan lama penyembuhan pada anak TB Paru primer dengan usia 1-6
tahun, hal ini berarti semakin baik pola perawatan ibu maka semakin cepat
proses waktu penyembuhan anak TB Paru primer usia 1-6 tahun. Hasil uji korelasi
Product Moment r hitung= 0,898 dengan taraf signifikan 0,05
DAFTAR
PUSTAKA
Alsagaf, and Mukty, A. 1999, Dasar-dasar
Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press
Amin, S 2007. Jurnal Teknologi
Kesehatan, vol 1 No. 2. Poltekes
Arikunto, S, 2006, Prosedur
Penelitian suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta
Bahar, Asril., 2001 Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi Ketiga, Balai Penerbit FK UI, Jakarta
DepKes RI, 2001, Pedoman
Pemberantasan Tuberkolusis Paru, cet- 5, Ditjen PPM & PLP
Depkes,Kusnarto, 1995, Faktor-Faktor Penatalaksanaan Penderita Tuberkolusis
Paru
Dan Hasil
Pengobatan,
Thesis Program Pasca Sarjana, Fetp_ Ugm,Yogyakarta
Ngatsiyah, 2003, Perawatan Anak
Sakit, Cet. I EGC, Jakarta
Notoatmojo, S. 2003, Ilmu
Kesehatan Masyarakat, PT. Rineka Cipta, Jakarta
Riwidikdo, H. 2006, Statistik
Kesehatan Belajar Mudah Teknik Analisis Data
Dalam Penelitian
Kesehatan (Plus Aplikasi Software SPSS), Yogyakarta
Mitra Cendikia Press
Riswah, M, 2007, Mencegah
Tuberkolusis, Jurnal Kesehatan Masyarakat vol
1 Number 2 pp 23-25 Surabaya
Sachrin Rosa M. Et.All Alih Bahasa : Maulany. 1999, Prinsip
Keperawatan Pediatrik, Edisi 13 EGC Jakarta
RANGKUMAN
HUBUNGAN POLA PERAWATAN PADA
ANAK UBERKULOSIS
PARU PRIMER DENGAN LAMA
PENYEMBUHAN PADA ANAK
USIA 1-6 TAHUN
Pola perawatan orang tua terhadap anak
TB Paru primer dapat mendukung masa penyembuhan pasien, yang meliputi:
lingkungan perumahan,pemantauan pengobatan, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan
istirahat, perawatan masalah khusus pada gangguan pernafasan dan pemenuhan rasa
nyaman (Ngatsiyah, 2003). Menurut Bahar 2001,
pengobatan pasien TB dalam jangka waktu yang panjang dan telah
melebihi masa penyembuhan yang semestinya (6-9 bulan) akan memerlukan biaya yang
lebih banyak, dengan ditemukannya rifampisin terjadi semacam”minirevolusi”
dalam kemo terapi terhadap tuberculosis, karena jangka waktu pengobatan dapat
dipersingkat menjadi 6-9 bulan.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang telah lama dikenal. Penyakit
ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat terutama di
negara yang sedang berkembang. Tuberculosis merupakan penyebab utama kematian
diantara berbagai infeksi yang dilaporkan. Penyakit ini sangat menular dan
menyerang semua umur. Indonesia diantara tiga juta penduduk yang suspek
tuberkulosis, 220.000 dengan sputum BTA positif atau 2,4 per seribu penduduk.
Menurut Amin (1999), tuberkulosis merupakan penyakit nomer satu dan merupakan penyebab
kematian nomer tiga.
Meskipun obat – obatan dan vaksin untuk penyakit tuberculosis
sudah lama ditemukan, namun penyakit yang dikenal sejak ratusan tahun ini belum
dapat dimusnahkan. Angka kejadian infeksi masih tetap tinggi bahkan cenderung meningkat
pesat sejalan dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk. Sesudah beberapa puluh
tahun penurunan insidensi tuberculosis, angka kasus tuberculosis telah
bertambah secara dramatis selama decade terakhir ini. Hampir 1,3 juta kasus dan
450.000 kematian terjadi pada anak setiap tahun. Insiden tuberculosis masa anak
bertambah 40% di Amerika Serikat dari tahun 1987 sampi tahun 1993 sebagai
akibat kemiskinan, imigrasi dari negara yang berprevalensi tinggi, epidemi
infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV), dan keterbatasan pada pelayanan perawatan
(Richard. Et al,2000). Tuberkulosis primer disebut juga penyakit
tuberkulosis pada bayi dan anak serta merupakan penyakit sistemik, juga
penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosa tipe
humanus ( jarang oleh tipe Mycobacterium bovines ). Mycobacterium
tuberculosa masuk melalui saluran nafas (droplet infection) sampai
alveoli terjadilah infeksi primer. Lesi di dalam paru dapat terjadi dimanapun
terutama di perifer dekat pleura. Lebih banyak terjadi di bagian bawah paru
dibandingkan dengan bagian atas. Pembesaran kelenjar regional lebih banyak
terdapat pada anak dan penyembuhan terutama kearah kalsifikasi serta penyebaran
hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil.
. Masalah
pernafasan terdapat 6 responden sesuai dengan Penderita TB paru primer dapat
beragam keadaanya, dari yang tanpa gejala hingga dengan gejala berat dan dapat
menyebabkan kematian. Gejala yang umum adalah batuk dan produksi sputum yang
banyak. Selain itu adanya destruksi dan proses peradangan pada parenkhim paru
dapat menimbulkan gangguan fungsi pernafasan. Batuk kadang tidak menyesakkan
penderita tetapi dengan batuk dapat melelahkan dan berakibat pada kecepatan
pernafasan serta memerlukan peningkatan usaha pernafasan. Hambatan mukus /
sputum membuat jalan nafas tidak efektif, hal ini dapat menyebabkan atelektasis
dan
gangguan pertukaran gas antara alveolar dan membrane kapiler. Dari
kerusakan parenkhim dan kavitas membuat perubahan transport gas dengan berkurangnya
daerah untuk difusi (Bahar, 2001). Adanya masalah tersebut yaitu pola nafas
tidak efektif karena batuk, jalan nafas tidak efektif karena peningkatan secret
dan gangguan pertukarangas, perlu dilakukan tindakan / perawatan pada
penderita.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang telah lama dikenal. Penyakit
ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat terutama di
negara yang sedang berkembang. Tuberculosis merupakan penyebab utama kematian
diantara berbagai infeksi yang dilaporkan. Penyakit ini sangat menular dan
menyerang semua umur.
OPINI PRIBADI TENTANG
TUBERKOLOSIS
Tuberkolosis
merupakan penyakit menular yang umum, tuberkolosis biasanya menyerang paru-paru
yang menyebar melalui udara ,Tuberkolosis biasanya menyerang paru-paru namun
juga bisa berdampak pada bagian tubuh lainya, ketika seorang dengan infeksi
batuk bersin atau menyebarkan butiran ludah.Masyarakat semakin banyak menderita
tuberkolosis karena kekebalan tubuh mereka yang lemah,Gejala tubercolosis
anatara lain berupa nyeri dada dan batuk berdahak yang berkepanjangan, Gejala lain adalah penurunan berat badan karena menurunnya
nafsu makan, mengakibatkan pula menderita menjadi lesu dan pucat. Batuk yang
sering berkembang menjadi nyeri dada dan bahu yang sedikit terangkat karena ada
sesak napas. Keadaan ini biasanya sudah lanjut. Batuk darah itu menandakan
terbentuknya lubang (kaviti) pada oragan paru dan hal inimenunjukkan keadaan
infeksi yang suatu saat berpotensi kegawatan bila terjadi batuk darah.
diagnosis
TBC paru pada anak lebih sulit dibandingkan dengan dewas karena gambaran foto
rotgent yang tidak khas. Sering pasien menjadi salah diagnosis tidak TB
dianggap TB (overdiagnosis) atau sebaliknya underdiagnosis kerap terjadi baik
dilakukan oleh dokter umum sampai seorang spesialis sekalipun. Gejala yang
paling khas pada anak adalah berat badan yang tidak naik dan timbul beberapa benjolan
pada kelenjar di daerah leher bagian kiri dan kanan. dengan pemeriksaan
laboratorium kerapkali juga tidak terdiagnosis dan akhirnya dibutuhkan uji
TUBERKULIN yang dikenal sebagai MANTOUX (baca mantu) test. dengan uji yang
benar dan pembacaan yang benar maka diagnosis ini menjadi lebih meyakinkan.
Untuk
mencegah penyebaran berlapis penyakit tubercolosis pisahkan orang-orang dengan
TB aktif,dan beri mereka obat anti TB, setelah kira-kira 2 minggu perawatan
orang-orang dengan infeksi aktif yang non-resisten biasanya sudah tidak menular
penyakitnya oleh orang lain. Namun
kadang kala pengobatan pengobatan sulit dilakukan dan memerlukan pemberian
bayak macam anti biotic dalam jangkan waktu lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar